Senin, 01 April 2024

Logis Anies Dirikan Partai Sendiri?

 


 If you want a thing done well, do it yourself.” – Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis (1804-1814)

Tahun itu adalah tahun 2014, ketika sebuah merek furnitur terkenal asal Swedia membuka toko pertamanya di Indonesia, tepatnya di Alam Sutera, Tangerang, Banten. Toko itu dikenal dengan nama IKEA.

Ada hal unik yang membedakan merek furnitur satu ini dengan merek-merek lainnya. IKEA mempromosikan konsep do-it-yourself (DIY) atau lakukan-sendiri. Konsep ini diyakini membuat pelanggan dan pembeli bisa lebih bebas dalam menentukan furnitur dan desain interior yang diinginkan.

Namun, budaya DIY ini tidak serta merta terkenal dan populer karena IKEA. Pada tahun 2010-an, linimasa di media sosial (medsos) juga banyak dipenuhi oleh konten-konten yang sifatnya tutorial dan DIY.

Konten DIY untuk membuat vas bunga dari gelas kaca yang tidak terpakai, misalnya, sempat juga populer di internet dan medsos. Tidak hanya itu, banyak juga konten-konten life-hacks yang bertujuan agar penonton bisa melakukan hal yang selama ini dikira kompleks dengan mudah di rumah.

Namun, budaya DIY ini ternyata tidak hanya mampu mengisi hobi atau kegiatan di rumah saja, melainkan juga di bidang politik dan pemerintahan. Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte, misalnya, pernah mengatakan bahwa seseorang perlu melakukannya sendiri bial ingin hasil yang memuaskan.

Mungkin, inspirasi yang sama juga perlu dipertimbangkan dalam dinamika politik di Indonesia baru-baru ini. Pasalnya, Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief menilai bahwa calon presiden (capres) nomor urut satu, Anies Baswedan, bisa saja mendirikan partai politik (parpol) sendiri, mengingat Anies masih memiliki karier politik yang panjang.

Well, Anies bisa saja mempertimbangkan pilihan ini. Bagaimana tidak? Parpol-parpol koalisinya di Koalisi Perubahan-pun mulai tampak tidak solid dalam mendorong sejumlah inisiatif seperti hak angket di DPR dan gugatan Pemilihan Umum (Pemilu) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Lantas, apakah dengan mendirikan parpol sendiri Anies bisa mewujudkan mimpinya untuk menggerakkan perubahan layaknya jargon kampanyenya selama ini? Mengapa ini bisa menjadi pilihan (tidak) logis bagi Anies?

Anies Perlu Hitung Modal?

Ketika akan membuat benda-benda DIY, tentu sejumlah bahan juga perlu dipersiapkan. Hal yang sama juga berlaku dalam politik. Modal-modal politik juga perlu dipertimbangkan ketika akan mendirikan sebuah parpol.

Misal, ketika akan membuat sebuah vas DIY, tentu ada bahan-bahan seperti cat dan gelas kaca bekas yang perlu disiapkan. Nah, lantas, ‘bahan-bahan’ apa yang perlu disiapkan untuk karier politik seorang Anies?

Well, mungkin, ini bisa dijawab dengan konsep political capital atau modal politik. Konsep ini dijelaskan oleh Kimberly Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital.

Meminjam konsep social capital dari Pierre Bourdieu, Casey menjelaskan bahwa terdapat macam-macam modal yang bisa ditransformasikan menjadi modal politik. Modal-modal itu bisa berupa modal finansial, modal sosial, modal sumber daya manusia, hingga modal institusional.

Lantas, modal-modal apa yang sebenarnya dimiliki oleh Anies, katakanlah bila ingin mendirikan sebuah parpol sendiri?

Boleh jadi, Anies memiliki modal sumber daya manusia (human capital) yang mumpuni sebagai aktor politik. Mengacu pada penjelasan Casey, human capital berkaitan dengan kemampuan, keahlian, waktu yang dipunya, hingga pengalaman yang dipunya.

Anies sendiri memiliki pengalaman di sejumlah posisi pemerintahan, misal sebagai gubernur DKI Jakarta. Selain itu, capres nomor urut satu itu juga memiliki rekam jejak pendidikan yang mumpuni. Salah satunya adalah statusnya sebagai Ph.D. ilmu politik dari Northern Illinois University.

Selain human capital, Anies sebagai capres dan politisi populer memiliki modal sosial. Modal sosial ini berkaitan  dengan pengakuan publik hingga orang-orang yang dikenalnya.

Salah satu faktor yang diperhitungkan dalam modal sosial adalah dukungan dari individu-individu berpengaruh. Individu seperti ini biasanya memberikan modal sosial yang besar kepada politisi yang dimaksud, katakanlah Jusuf Kalla (JK) yang senantiasa berada di belakang Anies.

Meski begitu, apakah dua modal ini cukup bagi Anies untuk mendirikan parpol sendiri? Mengapa bisa saja Anies perlu mempertimbangkan kembali kemungkinan mendirikan parpol sendiri?

Anies Perlu (Banget) Hitung Modal?

Seperti yang telah dijelaskan di atas, ada bahan0bahan yang perlu disiapkan bila ingin membuat sejumlah barang DIY di rumah. Hal ini juga berlaku bagi Anies bila ingin membuat parpol “DIY” baru.

Mungkin, untuk menjelaskan hal ini, bisa mengamati sejumlah parpol baru yang berdiri di era Reformasi. Beberapa di antaranya adalah Partai Gerindra dan Partai NasDem,

Dua parpol ini sebenarnya merupakan parpol yang didirikan oleh jebolan-jebolan Partai Golkar. Meski begitu, kedua parpol ini kini menjadi beberapa dari parpol besar yang bisa melenggang untuk mewakili rakyat di Senayan.

Mengacu ke tulisan Ulla Fionna dan Alexander Arifianto, NasDem yang bermula dari sebuah gerakan akhirnya menjadi parpol yang didominasi oleh Surya Paloh, seorang pengusaha media besar yang merupakan jebolan Golkar. NasDem menjadi parpol besar dengan dukungan finansial yang tidak terbilang kecil dari Paloh.

Hal yang sama juga berlaku bagi Gerindra. Mengacu ke tulisan Selfi Anggriani dan Mada Sukmajati yang berjudul Elit dalam Dominasi Penerimaan Keuangan Partai Gerindra DKI Jakarta, Gerindra juga mendapatkan dukungan finansial dari sejumlah perusahaan yang dimiliki oleh adik Prabowo Subianto, yakni Hashim Djojohadikusumo.

Dua contoh parpol ini menjelaskan bahwa modal finansial juga berperan penting dalam dinamika parpol di Indonesia. Inipun sejalan dengan penjelasan Casey yang juga menyebutkan soal modal ekonomi atau economic capital.

Salah satu contoh modal ekonomi adalah kekayaan personal yang bisa disumbangsihkan untuk keperluan kampanye. Inipun perlu diperhitungkan agar modal politik lainnya turut berjalan untuk menghasilkan political outcome yang diinginkan.

Lantas, dengan status Anies yang bukan pengusaha, mungkinkah Anies memiliki ruang gerak finansial yang cukup untuk mendirikan parpol sendiri? 

Mungkin, persoalan finansial ini tidak serta merta bisa dijawab karena hanya Anies sendiri yang tahu bagaimana modal ekonomi yang dimilikinya. Namun, bukan tidak mungkin, Anies juga memiliki pendukung-pendukung yang memiliki modal ini.

JK, katakanlah, merupakan seorang pengusaha besar yang memiliki kaitan erat dengan konglomerasi Kalla Group. Bisa saja, JK menjadi seorang “king maker” secara finansial bagi Anies di masa depan.Well, meski begitu, masih ada banyak kemungkinan yang terjadi usai Pilpres 2024 ini berakhir. Yang jelas, bagaimanapun, untuk membuat barang-barang DIY, bahan-bahan dan langkah-langkah jelas juga perlu diperhitungkan dan dipersiapkan. Bukan begitu? (A43)

sumber : pinterpolitik.com



Sabtu, 04 Desember 2021

Operasi Intelijen di Balik Jatuhnya Gus Dur


Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah pemikir yang melampaui zamannya, begitu ungkap berbagai pihak. Presiden satu ini memang memiliki tempat tersendiri di tengah masyarakat, ia begitu unik sekaligus misterius. Salah satu yang paling banyak dibahas adalah jatuhnya sang presiden pada 23 Juli 2001. Apa yang sebenarnya terjadi?

Berbagai spekulasi dan analisis bertebaran. Ada yang menyebut nama Amien Rais. Tentunya ini bertolak dari posisi Amien sebagai Ketua MPR saat itu. Ada pula yang menyebut operasi Megawati Soekarnoputri agar menjadi presiden. Analisis ini misalnya diungkapkan oleh mantan Juru Bicara Gus Dur, Adhie Massardi.

Yang jelas, berbagai peristiwa telah memicu konflik dan mengalami eskalasi, hingga MPR mencabut mandat Gus Dur melalui sidang istimewa. Ada pertikaian dengan berbagai elite politik. Ada pula dugaan ini terkait hubungan yang kurang baik dengan militer.

Dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri, As’ad Said Ali menjelaskan operasi intelijen di balik jatuhnya Gus Dur. Penulis mengangkat buku ini karena melihat belum ada sudut pandang intelijen dalam diskursus jatuhnya Gus Dur. 

Apalagi, As’ad yang merupakan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) 2000-2011 jelas memiliki informasi A1 terkait peristiwa politik tersebut. As’ad yang menjadi Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2010-2015 juga dikenal memiliki kedekatan tersendiri dengan Gus Dur. 

Sebagai presiden atau klien tunggal BIN, Gus Dur mendapatkan informasi intelijen secara berkala dari As’ad dan Kepala BIN 1999-2001, Letnan Jenderal TNI Arie J. Kumaat. Sedikit konteks, sampai saat ini As’ad adalah satu-satunya sipil yang pernah menjadi pemimpin BIN. 

Lantas seperti apa operasi penjatuhan Gus Dur ini?

Operasi “Mesin Waktu”

Sayang tidak disebutkan persisnya kapan, mungkin pada Desember 2000, bersama dengan Kepala BIN Arie J. Kumaat, As’ad melaporkan terdapat indikasi penjatuhan presiden melalui proses politik di legislatif yang diberi kata sandi “Mesin Waktu”. 

Disebutkan, Mesin Waktu terdiri dari tiga gatra. Pertama, pembentukan opini di media melalui berbagai kasus, misalnya Bulog Gate dan Brunei Gate. Kedua, menggerakkan aksi massa untuk memanaskan opini. Ini juga sebagai persiapan mobilisasi massa besar-besaran. Ketiga, membentuk circle-circle kekuatan lintas fraksi di parlemen. 

BIN sebenarnya telah mengetahui terdapat tujuh tokoh di baliknya, namun tidak disampaikan karena dikhawatirkan bocor. Menurut As’ad, awalnya Gus Dur tidak menanggapi serius informasi tersebut karena menilainya masih dalam koridor demokrasi. Meskipun demikian, Gus Dur tetap bertanya, “sejauh mana kekuatan mereka itu?”

Arie Kumaat meminta As’ad menjawab. Untuk menjatuhkan Gus Dur, itu bisa berhasil jika mendapat dukungan politik, minimal dari Megawati dan Amien Rais, serta jika ada pelanggaran hukum. Mendengar analisis tersebut, Gus Dur menyebut tidak perlu khawatir karena Megawati dan Amien dinilai tidak akan menyusahkannya.

Namun sebagai pencegahan, As’ad kemudian menemui Amien bersama dengan Oesman Sapta Odang. Dalam pertemuan itu baru diketahui, ternyata Amien kesulitan berkomunikasi dengan Gus Dur sejak bulan kelima Gus Dur menjabat. Hal yang sama juga terjadi pada Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil. Dari sana kemudian disadari, operasi Mesin Waktu tampaknya sudah berjalan lama. Sejak bulan kelima, komunikasi Gus Dur diputus dengan pihak-pihak penting. 

Dalam pemaparannya, As’ad dengan tegas membantah Amien sebagai dalang kejatuhan Gus Dur. Malah sebaliknya, Amien begitu mendukung kepemimpinan Gus Dur. Pun demikian dengan desas-desus seputar HMI Connection, As’ad tegas membantahnya.

Lanjut ke Mesin Waktu. Entah bagaimana, operasi ini telah masuk ke dalam ruang-ruang Istana. Pasalnya, tidak hanya kolega politik, kolega dekat dan keluarga Gus Dur juga mengalami hal yang sama. Ini misalnya ditarik dari keluhan seorang keluarga Gus Dur karena fax yang dikirimnya setiap jam 2 malam tidak pernah sampai ke meja presiden. Selain itu, pertemuan rahasia Gus Dur dengan Amien di Darwin, entah bagaimana dapat bocor ke berbagai media. Jelas ada internal Istana yang bermain. 

Kondisi psikologi politik dan internal Istana begitu emosional saat itu. Keluarga dekat Gus Dur bahkan sampai mendukung usulan Dekrit Presiden yang kemudian hari menjadi preseden sidang istimewa MPR. Menurut As’ad, sampai hari-hari terakhir, Gus Dur sebenarnya begitu ragu untuk mengeluarkan Dekrit. Namun entah bagaimana, Dekrit itu keluar, dan jatuh lah Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Seharusnya Bisa Bertahan?

Menariknya, As’ad menyebut Gus Dur mendapat berbagai tawaran politik agar kekuasaannya bertahan. Pertama, dua minggu setelah pertemuan dengan Amien batal, melalui Theo Safei, As’ad diberi draf keputusan DPR yang berisi tawaran politik untuk melimpahkan sebagian wewenang presiden kepada wakil presiden. Namun Gus Dur menolak tawaran tersebut. Hubungan yang kemudian merenggang antara Gus Dur dan Megawati, diduga salah satunya karena penolakan tersebut. 

Kedua, pertemuan antara sosok-sosok penting, seperti Ketua Golkar Akbar Tanjung dan Ketua PKB Matori, menyepakati suatu usulan agar presiden membentuk “Kabinet Empat Kaki” yang terdiri dari Poros Tengah, PDIP, Golkar, dan TNI. Usulan ini pun ditolak Gus Dur saat itu.

Ketiga, ada tawaran menarik dari sebuah yayasan internasional sangat berpengaruh yang berbasis di Amerika Serikat (AS). Menariknya, yayasan tersebut memiliki analisis yang sama dengan BIN bahwa Gus Dur akan jatuh. Sebagai solusi, utusan yayasan berinisial Mr. YM akan mempersiapkan pesawat evakuasi bagi Gus Dur dan keluarganya ke John Hopkins University Hospital di Baltimore, AS, dengan alasan menjalani perawatan kesehatan.

Utusan itu mengatakan, Gus Dur harus tetap menjadi presiden, meskipun hanya sebagai simbol karena Indonesia sedang berjuang menjadi negara demokrasi Muslim terbesar di dunia. Jika berhasil, itu dinilai dapat mempengaruhi negara-negara Islam lainnya. Namun sekali lagi, Gus Dur juga menolak tawaran tersebut. 

Kendati memberikan penolakan atas berbagai tawaran yang ada, As’ad terlihat memberi pujian kepada Gus Dur. Penolakan-penolakan itu menunjukkan keteguhan hati Gus Dur untuk tidak terjebak dalam politik kompromistis. Dari segi moral, pujian As’ad sekiranya tepat, namun tidak dari segi politik realis.

Untuk kepentingan ini, menarik membaca tulisan Kishore Mahbubani yang berjudul The Genius of Jokowi. Menariknya, Mahbubani menyebut Presiden Jokowi sebagai seorang jenius, tepatnya politisi jenius karena mantan Wali Kota Solo ini memiliki kemampuan konsolidasi politik yang sangat baik.

Tulis Mahbubani, berbeda dengan Joe Biden di AS, Jokowi berhasil menyatukan negaranya secara politik meskipun melalui pembelahan politik luar biasa di 2019. Ratusan tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1513, Niccolò Machiavelli dalam bukunya Il Principe juga mengatakan hal serupa. 

Menurut Machiavelli, kehebatan seorang penguasa, bukan terletak pada kecerdasaan, kebaikan, atau kengeriannya, melainkan kemampuannya dalam mengonsolidasi kekuasaan, meredam potensi perlawanan, dan menjaga dukungan masyarakat.

Singkatnya, mengacu pada definisi politisi jenius dari Mahbubani, mungkin dapat dikatakan, Gus Dur kurang memiliki kecakapan politik. Jika menerima salah satu tawaran politik yang ada, sejarah yang saat ini kita baca mungkin akan berbeda.

Konteksnya semakin menarik apabila kita melakukan elaborasi dengan buku Kepala BIN 2001-2004, A.M. Hendropriyono yang berjudul Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. Dalam bukunya, Hendro menganalogikan BIN seperti gergaji. “Jika kita gagal menggergaji kayu, tidak benar jika kita membanting atau memaki-maki alat gergajinya,” tulisnya.

Tegas Hendro, intelijen merupakan alat negara yang bertugas untuk mengumpulkan dan memberikan informasi. Nah, dipandang berguna atau tidaknya informasi tersebut, bergantung atas sang klien tunggal, yakni presiden.

Artinya, seperti pernyataan As’ad, BIN telah memberikan informasi indikasi operasi penjatuhan kepada Gus Dur, namun sang presiden tidak merespons serius pada awalnya. Mengutip Machiavelli, itu menunjukkan Gus Dur tidak memiliki penciuman politik yang baik. Gus Dur telah gagal dalam mendeteksi bahaya politik yang mengancam kekuasaannya.

Well, apapun yang terjadi di balik jatuhnya Gus Dur, dan siapapun tujuh orang yang dimaksud As’ad, yang jelas kejatuhan Gus Dur memiliki dimensi yang begitu kompleks. Terlebih lagi, Gus Dur memang mengeluarkan berbagai kebijakan kontroversial, seperti membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan, hingga ketegangan dengan berbagai elite. (R53). copyright : pinterpolitik

Senin, 23 Agustus 2021

Pemerintahan Jokowi Di Ambang Negara Represif?


 “Art is a criticism of society and life, and I believe that if life became perfect, art would be meaningless and cease to exist.” — Naguib Mahfouz, penulis asal Mesir

Beberapa hari ini diskursus publik diramaikan oleh kasus mural. Ya, mural. Diketahui, mural berisi kritik sosial di berbagai tempat dihapus oleh pihak berwajib. Yang paling menarik, mural berbentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tulisan “404: Not Found” di Tangerang, tidak hanya dihapus, tapi pembuatnya juga tengah dicari.

Seperti yang mudah ditebak, persoalan ini melahirkan berbagai reaksi, yang umumnya mempertanyakan apa urgensi pencarian sang pembuat mural. Persoalannya menjadi lebih kompleks karena alasan pihak berwajib mencari pembuat mural dinilai tidak tepat. Disebutkan, ada dugaan penghinaan terhadap Presiden sebagai lambang atau simbol negara.

Masalahnya, mengacu pada UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2009, yang tercantum sebagai simbol negara adalah bendera merah putih, bahasa Indonesia, Burung Garuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, serta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Uniknya, kesalahan serupa juga dilakukan oleh Rektorat Universitas Indonesia (UI) ketika memanggil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI terkait unggahan “Jokowi The King of Lip Service”.

Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, pasal KUHP terkait penghinaan terhadap Presiden sebagai delik biasa sudah dicabut oleh MK. Oleh karenanya, pihak berwajib seharusnya baru bisa bertindak apabila terdapat aduan, bukannya berinisiatif mengejar pelaku.

Persoalan ini menjadi perhatian sendiri, khususnya dari pengamat hukum. Mengapa pihak berwajib bertindak tidak berdasarkan mekanisme hukum yang tepat? Lebih jauh lagi, apakah ini menunjukkan indikasi penerapan hukum represif?

Bayang-bayang Hukum Represif

Di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19, banyak dari kita tentu melihat gestur pemerintah mulai bertendensi represif. Mulai dari pemberian sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan (prokes), hingga diturunkannya ribuan aparat dalam penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Namun, seperti yang dicatat Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Hukum Responsif, mekanisme represif seperti itu tidak dapat begitu saja disebut memiliki tujuan jahat untuk merepresi masyarakat.

Ketika pemegang kekuasaan berada dalam situasi sulit, mereka cenderung akan berpaling ke mekanisme-mekanisme represif karena mungkin tidak melihat jalan lain untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Konteks ini misalnya dapat kita lihat pada kebijakan vaksinasi Covid-19. Terlepas dari kritik berbagai pihak bahwa ada unsur “paksaan”, mekanisme represif tersebut sekiranya diperlukan untuk mengejar target vaksinasi.

Yang menjadi masalah adalah, seperti yang ditegaskan Nonet dan Selznick, keadaan darurat seperti saat ini sangat rentan dimanfaatkan kekuasaan untuk menjadi represif. Ini bukan mekanisme represif untuk mengejar kebaikan yang lebih besar (common good), melainkan karena kekuasaan tidak mampu menjaga kesetiaan publik dan memenuhi tuntutan masyarakat.

Secara khusus, kondisi tersebut disebut sebagai the poverty of power atau “miskinnya kekuasaan”. Situasi ini ditandai dengan menurunnya kepercayaan masyarakat, serta adanya gejolak internal dalam tubuh kekuasaan itu sendiri.

Terkait kepercayaan masyarakat, berbagai lembaga survei menunjukkan adanya penurunan. Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, pada Juli kemarin menyebut kepercayaan terhadap Presiden turun dari 56,5 persen menjadi 43 persen.

Lalu soal gejolak internal, persoalan ini sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Di Mana Jokowi? dan Jokowi Mulai Ditinggalkan?. Tampaknya tengah ada gelagat benteng-benteng Presiden Jokowi mulai mencari proyeksi tunggangan baru karena kapal sebentar lagi akan berlabuh.

Kembali pada poin Nonet dan Selznick, represi akan terjadi karena kekuasaan tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat. Nah, apabila diamati, bukankah mural yang dihapus berisikan kritik atas situasi pandemi?

Di Pasuruan ada mural bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”. Sementara di Tangerang ada mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” dan “Jokowi 404: Not Found”. Suka atau tidak, mural-mural tersebut menjelaskan kondisi ekonomi saat ini. Kebijakan PPKM Darurat memberikan hantaman bagi kelompok menengah ke bawah, khususnya mereka yang mengandalkan pendapatan harian.

Berbagai pihak pun mempertanyakan mengapa UU Kekarantinaan Kesehatan tidak digunakan. Tidak heran kemudian terdapat dugaan, UU tersebut tidak digunakan agar negara tidak memiliki kewajiban untuk “memberikan makan”.

Ya, mungkin saja dugaan itu salah, tapi bukan itu poinnya. Poinnya adalah, tengah terjadi distrust terhadap kekuasaan. Ini tentunya bertolak dari ketidakpuasaan terhadap penanganan pandemi.

Jika benar tengah terjadi poverty of power dan kekuasaan mulai menjadi represif, itu dapat menjadi jawaban mengapa pihak berwajib menggunakan aturan hukum yang tidak tepat dalam mencari pembuat mural “Jokowi".

Banalitas Kejahatan

Jika mengkaji lebih dalam, ada sesuatu yang lebih berbahaya daripada ancaman negara represif, yakni ketidaksadaran kekuasaan telah menjadi demikian. Poin ini yang ditekankan Rieke Diah Pitaloka dalam bukunya Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat.

Berbeda dengan berbagai pihak yang menyebut kekuasaan yang otoriter atau represif sadar atas perbuatannya, Rieke justru menyebutkan kebijakan diambil karena ketidaksadaran bahwa itu bertendensi demikian.

Simpulan tersebut ditarik karena Rieke menggunakan teori banalitas kejahatan (banality of evil) dari filsuf Jerman, Hannah Arendt.

Dalam bukunya, politisi PDIP ini mencontohkan kasus Adolf Eichmann. Petinggi militer Nazi yang bertanggung jawab atas peristiwa Holocaust ini justru tidak sadar dirinya telah melakukan kejahatan. Menurut Eichmann, apa yang dilakukannya tidak lebih dari sekadar memenuhi tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya.

Lebih getir lagi, menurut Rieke, mengapa kekerasan dan represi negara selalu terulang, karena adanya kelumrahan di tengah masyarakat dan pengambil kebijakan itu sendiri. Ini membuat kebijakan represif yang ada tidak ditanggapi secara kritis karena menilainya sebagai fenomena yang biasa atau lumrah.

Selain itu, Rieke juga menjelaskan sifat intrinsik hukum yang membuat penguasa mudah berlaku represif. Seperti yang diketahui, hukum memiliki sifat koersif dan memaksa. Ini membuat penguasa kerap memanfaatkan hukum semata-mata sebagai perangkat untuk mengatur masyarakat. Poin ini juga disinggung oleh Nonet dan Selznick.

Bertolak pada banality of evil, apakah mungkin pihak berwajib yang mencari pembuat mural tidak mempermasalahkan aturan hukum yang tidak tepat, karena merasa itu sebagai pemenuhan tanggung jawabnya dalam menjaga ketertiban?

Spekulasi yang lebih buruk, bagaimana jika terdapat pelumrahan? Bagaimana jika pihak berwajib melakukan tindakan tersebut karena merasa tindakan represif adalah sesuatu yang lumrah? Poin ini tentunya adalah ketakutan kita semua.

Mengutip teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat bekerja, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Pertanyaannya, bagaimana mungkin terjadi kepastian hukum, apabila terdapat budaya hukum yang melumrahkan tindakan yang bertolak dari aturan hukum yang tidak tepat?

Well, apa pun yang terjadi, entah itu tendensi represi atau bukan. Yang jelas, seperti kutipan pernyataan Naguib Mahfouz di awal tulisan, seni adalah kritik sosial. Mural-mural yang ada, alangkah baiknya dipahami sebagai vitamin kritik bagi kekuasaan. (R53) 

Sumber : Pinterpolitik

Rabu, 30 September 2020

Di Tengah Persekutuan Negara & Oligarki, Mengapa Demonstrasi Perlu?

 


Melalui buku berjudul Temporary Autonomous Zone: Ontological Anarchy, Poetic Terrorism (1991), Hakim Bey mengingatkan: setiap revolusioner kerap mengobral janji revolusi tanpa bisa memberi kepastian kapan ia akan datang. Karenanya, bagi Bey, berhentilah berpikir tentang itu semua dan hidupilah apa yang terjadi hari ini.

Bey, yang punya nama asli Peter Lamborn Wilson, sosok kontroversial di kalangan anarkis global karena pembelaannya terhadap praktik pedofilia, memang tidak tertarik dengan revolusi sebagai narasi besar. Ia menggunakan istilah “uprising” yang merujuk kepada sebuah pagelaran politik spektakuler sebagai titik mula bagi komunitas dan individu otonom dan ruang-ruang yang dibebaskan agar dapat menerapkan utopia temporer.

Dengan pendekatan tersebut, Bey mencetuskan sebuah gagasan: taktik sosio-politik untuk menciptakan ruang sementara yang menghindari struktur kontrol formal: Temporary Autonomous Zone (TAZ) atau zona otonom temporer. Kelak, konsep ini menjadi tonggak penting dalam diskursus dan praktik antiotoriter.

Konsep TAZ merupakan upaya menunjukkan bahwa cara terbaik untuk menciptakan sistem hubungan sosial yang nonhierarkis adalah dengan berkonsentrasi pada saat ini dan melepaskan diri dari mekanisme kontrol yang telah diterapkan kepadanya.

Dari penekanan tersebut, yang (semestinya) terjadi adalah penolakan atas narasi megah hingga lenyapnya determinisme sejarah. Dinamika pembebasan ini lalu menghadirkan spontanitas massa yang menolak asas tunggal, komando sentral, subordinasi pada hierarki, hingga seluruh jenis politik representasi dan mediasi apa pun. Tujuannya konkret: pluralitas maksimum.

Maka sebuah “uprising” bukanlah cakrawala mesianistis yang memberi janji penebusan, lebih-lebih menjadi mesin politik yang—demi mencapai tujuannya—akan mengorbankan yang sekarang. Ia adalah kendaraan kemanusiaan yang berpijak pada kondisi saat ini untuk melampaui alienasi kehidupan sehari-hari, strata, identitas representatif, hingga hasrat pembangkangan yang direpresi.

Melalui pendekatan TAZ itu, maka tak perlu diherankan jika pada Rabu (25/9/2019), ribuan anak STM ikut menggeruduk gedung DPR. Sehari sebelumnya mereka juga turun baku hantam membantu mahasiswa di lokasi yang sama.

Dan tak perlu dirisaukan pula jika banyak dari mereka yang belum paham apa saja isu yang menjadi persoalan utama—sekalipun klaim tersebut mudah dipatahkan karena sesungguhnya anak STM juga merupakan korban dari sistem menindas yang berwujud pendidikan, budaya, hingga kemiskinan.

Jalananlah yang kemudian menjadi zona temporer bagi mereka untuk bertindak otonom sebagai asosiasi bebas, sembari mempersetankan klaim para buzzer pemerintah terkait kemungkinan adanya aktor-aktor yang menunggangi.

Dan meski sementara, meski hari itu juga mereka kembali direpresi oleh standar kesantunan masyarakat hingga aparat negara, sejarah bangsa ini telah mencatat: pada suatu siang yang terik, anak-anak STM yang beringas itu tidak lagi baku pukul antar-sesama, tetapi bersatu mencurahkan kekesalan mereka terhadap negara.

Demonstrasi dari Masa ke Masa

Demonstrasi punya sejarah amat panjang. Dalam dialog bertajuk Earliest Evidence of Social Protest yang digagas Patrick Manning dari Northeastern University, disebutkan bahwa demonstrasi telah ada sejak era Romawi pada 73-71 SM.

Ketika itu Spartakus, seorang pemimpin budak terkemuka, mengajak segerombolan kecil orang untuk melawan Republik Romawi. Dalam proses pelarian, jumlah mereka terus berkembang menjadi lebih dari 120 ribu dan terdiri atas pria, wanita, juga anak-anak. Mereka lantas berkeliaran di seluruh Italia dan banyak melakukan penjarahan, sebelum akhirnya berhasil dihentikan melalui agresi militer di bawah komando Marcus Licinius Crassus. Kendati begitu, aksi tersebut tetap memberikan pengaruh tak langsung terhadap politik Romawi bertahun-tahun setelahnya.

Lima ratus dua tahun lalu, tepatnya pada 31 Oktober 1517, seorang biarawan tak dikenal bernama Martin Luther berdiri di depan sebuah gereja di Wittenberg, kota kecil yang kini masuk wilayah Jerman. Di pintu gereja, ia nekat memaku daftar 95 dalil berisi kritik terhadap otoritas Gereja Katolik. Peristiwa yang semula berlangsung tertib namun berujung pada tumpahnya darah dan air mata itu dicatat dalam sejarah sebagai awal mula gerakan Reformasi di daratan Eropa dan seluruh dunia yang melahirkan Protestantisme.

Penyerbuan penjara Bastille pada 14 Juli 1789 menjadi penanda dimulainya Revolusi Perancis dan berakhirnya ancien régime. Kemenangan rakyat Perancis kemudian semakin absah ketika Louis XVI dan istrinya, Marie-Antoinette, dipenggal dengan guillotine pada 1793. Sejak itu, spirit Revolusi Perancis beserta ide-idenya menyebar hampir ke seluruh dunia.

Gandhi's Salt March akan selalu diingat karena sebagai salah satu, jika bukan sebagai yang paling ideal, tentang bagaimana metode protes dilakukan. Ketika India di bawah kekuasaan Inggris dilarang mengumpulkan atau menjual garam, Mahatma Gandhi mengajak pendukungnya untuk melakukan aksi unjuk rasa pada 1930. Mereka berbaris dari ashram ke Laut Arab untuk mengumpulkan garam dari laut. Lebih dari 60 ribu orang ditangkap karena melanggar hukum garam. Gandhi lalu mendirikan salt satyagraha (istilah yang bisa diartikan sebagai “pembangkangan sipil”) dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan.

Gerakan tersebut kelak menjadi rujukan penting mengenai bentuk demonstrasi tanpa kekerasan. Salah satunya seperti yang dilakukan Martin Luther King Jr pada 1963 di Washington melalui pidatonya yang termashyur: "I have a dream".

Daftar unjuk rasa yang mengubah trek sejarah ini tentunya masih bisa ditambah lagi. Dari aksi sejuta orang yang menduduki Lapangan Tiananmen Beijing, pembangkangan koloni Amerika terhadap Inggris pada 1773 yang dikenal dengan The Tea Party Boston, hingga jauh sebelumnya yaitu penolakan terhadap Hukum Oppian yang dilakukan para perempuan di Republik Romawi pada 195 SM.

Pertanyaannya: mengapa harus demonstrasi?

Mengurai Demonstrasi

Ada banyak pertanyaan tentang demonstrasi. Misal: dari mana datangnya orang-orang yang membentuk gerakan? Apa pemicunya? Bagaimana mereka bersatu dan berbagi pandangan yang sama tentang dunia dalam keadaan yang memaksa mereka melakukan aksi politik? Seperti apa pengaruh aksi mereka bagi gerakan di masa depan?

Sebelumnya, mari tengok empat karakter gerakan sosial dalam skala global yang menonjol di dekade 1960-an hingga 1970-an: hak-hak sipil, protes mahasiswa, hak kesejahteraan, dan pembebasan perempuan. Empat karakter tersebut selalu menjadi narasi awal pembentukan gerakan.

Tentang bagaimana elemen tersebut bersinergi juga tentunya memerlukan penguraian kembali. Hal ini turut dijelaskan Jo Freeman dalam risetnya yang berjudul On the Origins of Social Movements (PDF). Jo merupakan seorang feminis anarkis sekaligus ilmuwan politik Amerika yang telah bergiat dalam serangkaian aksi dan unjuk rasa berdekade lamanya.

Pertama, kebutuhan akan jaringan atau infrastruktur komunikasi menjadi basis utama gerakan sosial untuk melakukan "aktivitas yang spontan". Artinya, berbagai kelompok individu yang sebelumnya tidak terorganisasi dapat segera membentuk asosiasi-asosiasi lokal skala kecil sebagai respons terhadap ketegangan atau krisis tertentu.

Kedua, pengorganisasian harus mutlak terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang, pengalaman, atau memahami struktur sosial lokasi terkait, sehingga berbagai gagasan baru dapat segera diadopsi dan/atau dimodifikasi.

Ketiga, jaringan komunikasi yang belum sempurna dikhawatirkan dapat menyebabkan krisis gerakan, maka diperlukan beberapa organisatoris untuk membangun sekian gerakan baru atau minimal kelompok spontan lain. Sekalipun tidak terkoordinasi dengan baik, gerakan baru tersebut wajib memiliki keresahan yang sama terkait isu yang diperjuangkan.

Keempat, diperlukan upaya pengorganisasian selanjutnya untuk menyatukan kelompok-kelompok spontan atau asosiasi-asosiasi kecil lain agar menjadi satu gerakan yang kokoh, baik secara teoretis dan praksis.

Pertanyaan selanjutnya: siapa yang menjadi sasaran tembak sebuah demonstrasi?

Persekutuan Negara dengan Oligarki

Masyarakat modern hidup dalam negara: sebuah ruang bersama yang didirikan dan disepakati berdasarkan kontrak sosial. Di dalamnya terdapat berbagai lembaga permanen seperti militer, pengadilan, serta birokrasi. Dari definisi tersebut, maka pada hakikatnya negara merupakan sebuah institusi yang memonopoli kekuasaan: teritorial, yurisdiksi, bahkan hingga kuasa atas imajinasi kemasyarakatan itu sendiri.

Melalui otoritasnya itu pula, negara menerapkan standardisasi dan normalisasi terhadap masyarakat. Mana “terlarang”, yang “bukan kita”, yang “normal”, yang “abnormal”, hingga “pengkhianat-pembangkang” digunakan untuk menopang sebuah tesis utama: stabilitas nasional. Dan tesis tersebut selalu dimulai dengan pengandaian: warga negara merupakan entitas amatir yang tidak becus mengurus masalah politik.



Oleh sebab itu, makna politik direduksi menjadi sekadar ikut pemilu: datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih wakil-wakil di parlemen. Atau jika memungkinkan turut terlibat dalam kepartaian dan masuk ke dalam birokrasi negara untuk melakukan perubahan dari atas ke bawah (top-down).

Persoalannya, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, negara acap menggunakan segala cara (Machiavellian) demi mengamankan kekuasaan dan otoritasnya lewat semua instrumen yang ia miliki: modal, media, juga legitimasi institusi ilmu pengetahuan. Situasi tersebut makin runyam ketika negara juga bersekutu dengan kelas oligarki.

Dalam konteks Indonesia, itulah yang terjadi sepanjang era Orde Baru dan masih terdapat sisa-sisanya hingga sekarang.

Dalam alam masyarakat yang apolitis, persekutuan antara negara dengan para oligarkh dapat menyebabkan persoalan genting yaitu sulitnya membentuk pergerakan progresif yang mampu memobilisasi massa atau, minimal, menawarkan wacana politik alternatif. Lebih-lebih secara mendasar tidak semua mobilisasi dapat berhubungan langsung dan mampu menjawab kontradiksi yang terjadi di masyarakat.

Untuk melakukan mobilisasi menjadi pertunjukan politik spektakuler, maka diperlukan basis material yang kokoh: pemetaan jaringan, pencanangan target, hingga penyusunan taktik perang kota jika situasi makin genting. Sebab hanya dengan begitulah demonstrasi dapat memenangkan pertarungan atas ruang politik yang telah terkontaminasi kepentingan oligarki.

Bukankah itu pula yang tengah diupayakan gerakan #ReformasiDikorupsi?

Senin, 13 Juni 2016

Teluk Kiambang, Desa kecil di ujung barat Inhil

Teluk kiambang adalah salah satu desa yang berada di kabupaten Indragiri hilir, Riau. Wilayahnya masuk ke pedalaman dari kawasan perairan selat malaka, desa ini berada di bagian barat kabupaten ini yang secara administratif merupakan bagian dari kecamatan Tempuling. Desa ini diperkirakan berdiri sekitar pada era perjuangan kemerdekaan abad-19.

Batas sebelah timurnya adalah berbatasan dengan desa Mumpa, sebelah barat dengan desa Kerta Jaya, sebelah selatan oleh sungai Indragiri yang memisahkannya dengan kecamatan Kempas, dan sebelah utaranya dengan ujung barat kecamatan Gaung. Seperti pada desa-desa Inhil lainnya wilayahnya dibagi atas parit-parit yang bermuara pada sungai Indragiri sebagai drainase perkebunan warga. Batas adminstratif desa ini adalah berada pertengahan parit lima dan parit empat pada ujung baratnya di desa mumpa dan pertengahan parit tigabelas dan parit empatbelas pada ujung timurnya pada desa Kerta Jaya.

Etimologis

Tidak ada sumber terkait atas pemberian nama desa ini. Kalau kita telusuri nama desa ini berasal dari dua buah frase kata yakni Teluk dan Kiambang, Teluk yang berarti perairan sempit yang memisahkan dua daratan dan menghubungkan dua lautan, dan kata kedua Kiambang merujuk pada tumbuhan air yang hidup di sungai-sungai atau parit-parit, yang biasa disebut enceng gondok.

Jika kita dilihat dari arti etimologisnya pemberian nama pemukiman ini tidak tepat karena artinya adalah perairan enceng godok, sedangkan wilayah kawasan pemukiman ini adalah berupa daratan. Terlepas dari itu, pemberian nama ini pemberian atas pembuka pemukiman ini.

Geografi dan Sumber Daya Alam

Secara geografis desa ini sama dengan desa-desa pada umumnya di Indragiri hilir hanya berada sekitar 2-3 mdpl, sehingga ketika air laut pasang melalui sungai maka desa ini akan digenangi air, kemudian ketika air laut surut maka genanganpun akan hilang.

Kondisi lapisan tanahnya pada umumnya tanah gambut yang subur sehingga sangat mendukung untuk kegiatan pertanian dan perkebunan yang didukung oleh kondisi alam yang tropis karena sangat dekat dengan garis kahutulistiwa membuat wilayah ini memiliki curah hujan tahunan yang tinggi dan paparan matahari sepanjang tahun.

Sumber daya desa teluk kiambang berupa kelapa, kelapa sawit, buah-buhan dan sayuran. Selain itu untuk ketahanan pangan desa ini setiap tahunnya warga menggarap sawahnya sendiri untuk mendapatkan makanan pokok yang areal pertaniaannya berada diantara sungai kea rah utara jalan desa wilayahnya.

Demografi

Penduduk desa ini pada tahun 2016 berjumlah kurang lebih 3600 jiwa dengan jumlah keluarga 900 dengan berbagai etnis yang secara mayoritas adalah suku banjar, jawa, melayu bugis dan lain-lain. Pada umumnya berafiliasi pada ajaran Islam. Suku-suku yang datang berasal dari migrasi luar sumatera seperti suku banjar dari Kalimantan, jawa dan bugis dari pulau jawa dan Sulawesi.

Pola Pemukiman dan Mata Pencaharian

Pemukiman penduduk desa ini terkonsentrasi pada pusat pemerintahannya di wilayah kawasan parit 8 yang menjadikannya sebagai kawasan terpadat. Disinilah tempat kantor pemerintahan desa, pasar, LPM, Koperasi dan lembaga pendidikan. Sisanya berada di parit-parit desa lainnya yang pola pemukimannya adalah memanjang jalan yakni perumahan warga berada di kiri dan kanan jalan desa sebagian lainnya bermukim pada jalan ke arah perkebunan. Mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah sebagai petani atau pekebun, pedagang, buruh dan nelayan. Hari pasar di desa ini sejak puluhan tahun yang lalu adalah hari selasa sebagai tempat warga penduduk membeli berbagai kebutuhan hidup rumah tangga yang pedagangnya berasal dari pedagang domestik desa dan pedagang luar.

Infrastruktur

Pembangunan fisik perdesaan ini sama seperti nasib desa di inhil – bukan saja inhil, tapi desa-desa di seluruh pelosok negeri ini- yang sangat minim dalam pembangunan fisik terutama infrastruktur jalan dan jembatan. Di negeri ini desa seperti dianaktirikan oleh induknya (kota), pembangunan hanya terpusat pada kota, terlihat sekali diskriminasi antara desa dan kota dalam pembangunan fisik maupun non-fisik. Padahal dalam peraturan No. 34 tahun 2014 pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam pemberdayaan desa.

Akan tetapi realitasnya sangat kontras. Kondisi jalan desa ini sudah memprihatinkan tidak pernah mendapat perhatian sejak pembangunannya sekitar 18 tahun yang silam sekitar tahun 1998. Akses keluar dari desa ini dapat dilakukan dengan jalan darat melalui desa mumpa untuk mencapai akses jalan provinsi untuk menuju pusat pemerintahan kabupaten kota tembilahan dan ke wilayah dan desa lainnya atau wilayah terluar dari kabupaten inhil.

Desa ini telah dimasuki pasokan listrik PLN (Perusahaan Persero Listrik Negara per juni 2016. Ini menjadi kabar baik bagi penerangan dan kebutuhan energi listrik lainnya yang sebelumnya warga hanya menggunakan PLTD. Sebenarnya listrik PLN sudah masuk di desa ini pada era orde baru di tahun 1997, namun karena berbagai kendala pasukan listrik gagal. Baru 19 tahun kemudian baru telaksana.

Pendidikan dan Tempat Ibadah

Memiliki empat buah institusi pendidikan dasar yakni tiga Sekolah Dasar negeri dan satu Madrasah ibtidaiyah. Satu buah Madrasah Tsanawiyah dan satu buah Madrasah Aliyah. Beberapa tempat ibadah masjid dan mushalla atau surah berdiri di desa ini sebagai pusat pendidikan non-formal masyarakat.

Pemerintahan dan Keamanan

Pemerinatah Desa (PemDes) memiliki otonomi dalam pemerintahan dan pembuatan peraturan desanya yang diawasi oleh BPD. Desa ini sudah ditempatkan Unsur babinkamtibmas dan Babinsa sebagai penegak dan pelayanan keamanan pemukiman desa di ujung barat inhil.

Wisata

Salah satu tempat wisata desa ini -musiman- adalah pengendapan pasir di tengah sungai sejak dulu, yang bisa dikunjungi apabila air sungai mengalami surut. Pasir disungai ini juga menjadi material pembuatan rumah-rumah penduduk yang diambil secara gratis oleh warga setempat.

Penulis :  Andre S., 12 Juni 2016 M/10  Ramadhan 1437 H

Sumber referensi tulisan : Data desa, Pengamatan dan pengalaman penulis sebagai warga desa Teluk Kiambang.




Senin, 16 Mei 2016

DI BAWAH PURNAMA LANGIT ISTANBUL

Malam ini setelah Shalat Isya di Masjid Biru Andra memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggiran Selat bosporus untu k menikmati panoroma kota Istanbul, tampak ditengah selat bosporus kapal-kapal terapung dengan lampu-lampu indah malam di kota sebrang selat sana. Hembusan angin malam yang menerpa wajahnya dan bunyi suara kendaraan yang berlalu lalang di ruas jalan di beberapa puluh meter di belakangnya ditambah suara burung di sepanjang pinggiran bosporus membawa ingatannya ke dalam waku 4 tahun yang lalu. tiga hari sebelumnya adalah hari yang cukup melelahkan baginya. Tiga hari lalu ia terbang dari Jakarta ke Tashkent, Uzbekistan bersama orang-orang pentingnya untuk membicarakan kerjasama sekaligus ekspansi perusahaan minyaknya bersama beberapa pengusaha Tashkent untuk melakukan ekplorasi ladang migas di beberapa negara timur tengah, terutama di negara kaya minyak Libya, Tunisia, Maroko dan Kuwait.
Kemudian ia terbang lagi ke Brussels, Belgia terkait urusan izin usaha cabang perusahaan Retailnya dengan pemerintah Belgia. Andra memiliki lima Perusahaan Retail di sejumlah kota di Belgia ini. Kemudian terbang lagi ke Maroko dan Tunisia terkait pengurusan izin ekplorasi perusahaan minyak barunya di dua negara ini, 2 negara ini adalah paling awal sebelum beberapa negara lainnya. Terakhir terbang ke Istanbul, Turki kota paling disukainya di daratan Eropa dan diantara kota dunia lainnya. Di kota ini banyak kisah masa lalu saat ia menempuh pendidikan di Istanbul, terutama kisah cinta dan perasaannya terhadap Haya Maktoum, Mahasiswi Asal Dubai, seorang Anak Duta besar Dubai untuk Turki yang berprofesi sebagai dokter. 1 tahun yang lalu haya hilang tanpa kabar saat menjadi relawan di zona konflik Perbatasan jalur Gaza. Ia adalah satu-satunya wanita paling mengagumkan baginya. Cinta pertama sekaligus terakhir bagi Andra. Hingga detik ini, tidak ada sosok wanita yang dapat menggantikan haya dalam hatinya. Karna hidup hanya sekali, maka jatuh cinta pun cukup hanya sekali dalam prinsip hidupnya. Untuk itu, ketika singgah ke kota Istanbul, maka ia selalu ke pinggiran selat bosporus.
Kisah yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Pengusaha Muda tersukses Asal Indonesia ini. Dia usianya yang baru 26 tahun pada Februari Lalu, Ia sudah dinobatkan oleh Majalah Forbes sebagai orang terkaya nomor 32 di dunia dan menempati orang terkaya nomor 5 di Asia. Di usianya yang masih muda memungkin Andra akan menambah pundi-pundi kekayaan mengingat perusahaan-perusahaan besarnya di berbagai negara Eropa, Amerika dan Asia yang tengah menujukkan grafik laju pesat dan menggurita. Namun dg kekayaan berlimpah tersebut ia belum dapat menemukan kebahagian dalam hdupnya. Will Be next. .

Sabtu, 30 April 2016

STAI Auliaurrasyidin Buka dua Prodi Baru

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Auliaurrasyidin sebagai salah satu perguruan tinggi swasta di kabupaten Indragiri Hilir yang sebelumnya hanya memiliki dua program studi PAI dan PGMI kini menambah dua prodi baru yakni Prodi PGRA dan Ekonomi Syariah. 
Penambahan Program studi baru ini juga diikuti oleh pembangunan fisik dan non-fisik kampus. mulai dari penambahan gedung untuk kelas-kelas perkuliahan dan lain sebagainya. Pendaftaran untuk empat prodi sudah dibuka pada bulan April 2016 untuk tamatan SMA/MA  dan sederajat.

Logis Anies Dirikan Partai Sendiri?

   If you want a thing done well, do it yourself.” – Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis (1804-1814) Tahun itu adalah tahun 2014, ketika seb...