Sabtu, 04 Desember 2021

Operasi Intelijen di Balik Jatuhnya Gus Dur


Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah pemikir yang melampaui zamannya, begitu ungkap berbagai pihak. Presiden satu ini memang memiliki tempat tersendiri di tengah masyarakat, ia begitu unik sekaligus misterius. Salah satu yang paling banyak dibahas adalah jatuhnya sang presiden pada 23 Juli 2001. Apa yang sebenarnya terjadi?

Berbagai spekulasi dan analisis bertebaran. Ada yang menyebut nama Amien Rais. Tentunya ini bertolak dari posisi Amien sebagai Ketua MPR saat itu. Ada pula yang menyebut operasi Megawati Soekarnoputri agar menjadi presiden. Analisis ini misalnya diungkapkan oleh mantan Juru Bicara Gus Dur, Adhie Massardi.

Yang jelas, berbagai peristiwa telah memicu konflik dan mengalami eskalasi, hingga MPR mencabut mandat Gus Dur melalui sidang istimewa. Ada pertikaian dengan berbagai elite politik. Ada pula dugaan ini terkait hubungan yang kurang baik dengan militer.

Dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri, As’ad Said Ali menjelaskan operasi intelijen di balik jatuhnya Gus Dur. Penulis mengangkat buku ini karena melihat belum ada sudut pandang intelijen dalam diskursus jatuhnya Gus Dur. 

Apalagi, As’ad yang merupakan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) 2000-2011 jelas memiliki informasi A1 terkait peristiwa politik tersebut. As’ad yang menjadi Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2010-2015 juga dikenal memiliki kedekatan tersendiri dengan Gus Dur. 

Sebagai presiden atau klien tunggal BIN, Gus Dur mendapatkan informasi intelijen secara berkala dari As’ad dan Kepala BIN 1999-2001, Letnan Jenderal TNI Arie J. Kumaat. Sedikit konteks, sampai saat ini As’ad adalah satu-satunya sipil yang pernah menjadi pemimpin BIN. 

Lantas seperti apa operasi penjatuhan Gus Dur ini?

Operasi “Mesin Waktu”

Sayang tidak disebutkan persisnya kapan, mungkin pada Desember 2000, bersama dengan Kepala BIN Arie J. Kumaat, As’ad melaporkan terdapat indikasi penjatuhan presiden melalui proses politik di legislatif yang diberi kata sandi “Mesin Waktu”. 

Disebutkan, Mesin Waktu terdiri dari tiga gatra. Pertama, pembentukan opini di media melalui berbagai kasus, misalnya Bulog Gate dan Brunei Gate. Kedua, menggerakkan aksi massa untuk memanaskan opini. Ini juga sebagai persiapan mobilisasi massa besar-besaran. Ketiga, membentuk circle-circle kekuatan lintas fraksi di parlemen. 

BIN sebenarnya telah mengetahui terdapat tujuh tokoh di baliknya, namun tidak disampaikan karena dikhawatirkan bocor. Menurut As’ad, awalnya Gus Dur tidak menanggapi serius informasi tersebut karena menilainya masih dalam koridor demokrasi. Meskipun demikian, Gus Dur tetap bertanya, “sejauh mana kekuatan mereka itu?”

Arie Kumaat meminta As’ad menjawab. Untuk menjatuhkan Gus Dur, itu bisa berhasil jika mendapat dukungan politik, minimal dari Megawati dan Amien Rais, serta jika ada pelanggaran hukum. Mendengar analisis tersebut, Gus Dur menyebut tidak perlu khawatir karena Megawati dan Amien dinilai tidak akan menyusahkannya.

Namun sebagai pencegahan, As’ad kemudian menemui Amien bersama dengan Oesman Sapta Odang. Dalam pertemuan itu baru diketahui, ternyata Amien kesulitan berkomunikasi dengan Gus Dur sejak bulan kelima Gus Dur menjabat. Hal yang sama juga terjadi pada Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil. Dari sana kemudian disadari, operasi Mesin Waktu tampaknya sudah berjalan lama. Sejak bulan kelima, komunikasi Gus Dur diputus dengan pihak-pihak penting. 

Dalam pemaparannya, As’ad dengan tegas membantah Amien sebagai dalang kejatuhan Gus Dur. Malah sebaliknya, Amien begitu mendukung kepemimpinan Gus Dur. Pun demikian dengan desas-desus seputar HMI Connection, As’ad tegas membantahnya.

Lanjut ke Mesin Waktu. Entah bagaimana, operasi ini telah masuk ke dalam ruang-ruang Istana. Pasalnya, tidak hanya kolega politik, kolega dekat dan keluarga Gus Dur juga mengalami hal yang sama. Ini misalnya ditarik dari keluhan seorang keluarga Gus Dur karena fax yang dikirimnya setiap jam 2 malam tidak pernah sampai ke meja presiden. Selain itu, pertemuan rahasia Gus Dur dengan Amien di Darwin, entah bagaimana dapat bocor ke berbagai media. Jelas ada internal Istana yang bermain. 

Kondisi psikologi politik dan internal Istana begitu emosional saat itu. Keluarga dekat Gus Dur bahkan sampai mendukung usulan Dekrit Presiden yang kemudian hari menjadi preseden sidang istimewa MPR. Menurut As’ad, sampai hari-hari terakhir, Gus Dur sebenarnya begitu ragu untuk mengeluarkan Dekrit. Namun entah bagaimana, Dekrit itu keluar, dan jatuh lah Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Seharusnya Bisa Bertahan?

Menariknya, As’ad menyebut Gus Dur mendapat berbagai tawaran politik agar kekuasaannya bertahan. Pertama, dua minggu setelah pertemuan dengan Amien batal, melalui Theo Safei, As’ad diberi draf keputusan DPR yang berisi tawaran politik untuk melimpahkan sebagian wewenang presiden kepada wakil presiden. Namun Gus Dur menolak tawaran tersebut. Hubungan yang kemudian merenggang antara Gus Dur dan Megawati, diduga salah satunya karena penolakan tersebut. 

Kedua, pertemuan antara sosok-sosok penting, seperti Ketua Golkar Akbar Tanjung dan Ketua PKB Matori, menyepakati suatu usulan agar presiden membentuk “Kabinet Empat Kaki” yang terdiri dari Poros Tengah, PDIP, Golkar, dan TNI. Usulan ini pun ditolak Gus Dur saat itu.

Ketiga, ada tawaran menarik dari sebuah yayasan internasional sangat berpengaruh yang berbasis di Amerika Serikat (AS). Menariknya, yayasan tersebut memiliki analisis yang sama dengan BIN bahwa Gus Dur akan jatuh. Sebagai solusi, utusan yayasan berinisial Mr. YM akan mempersiapkan pesawat evakuasi bagi Gus Dur dan keluarganya ke John Hopkins University Hospital di Baltimore, AS, dengan alasan menjalani perawatan kesehatan.

Utusan itu mengatakan, Gus Dur harus tetap menjadi presiden, meskipun hanya sebagai simbol karena Indonesia sedang berjuang menjadi negara demokrasi Muslim terbesar di dunia. Jika berhasil, itu dinilai dapat mempengaruhi negara-negara Islam lainnya. Namun sekali lagi, Gus Dur juga menolak tawaran tersebut. 

Kendati memberikan penolakan atas berbagai tawaran yang ada, As’ad terlihat memberi pujian kepada Gus Dur. Penolakan-penolakan itu menunjukkan keteguhan hati Gus Dur untuk tidak terjebak dalam politik kompromistis. Dari segi moral, pujian As’ad sekiranya tepat, namun tidak dari segi politik realis.

Untuk kepentingan ini, menarik membaca tulisan Kishore Mahbubani yang berjudul The Genius of Jokowi. Menariknya, Mahbubani menyebut Presiden Jokowi sebagai seorang jenius, tepatnya politisi jenius karena mantan Wali Kota Solo ini memiliki kemampuan konsolidasi politik yang sangat baik.

Tulis Mahbubani, berbeda dengan Joe Biden di AS, Jokowi berhasil menyatukan negaranya secara politik meskipun melalui pembelahan politik luar biasa di 2019. Ratusan tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1513, Niccolò Machiavelli dalam bukunya Il Principe juga mengatakan hal serupa. 

Menurut Machiavelli, kehebatan seorang penguasa, bukan terletak pada kecerdasaan, kebaikan, atau kengeriannya, melainkan kemampuannya dalam mengonsolidasi kekuasaan, meredam potensi perlawanan, dan menjaga dukungan masyarakat.

Singkatnya, mengacu pada definisi politisi jenius dari Mahbubani, mungkin dapat dikatakan, Gus Dur kurang memiliki kecakapan politik. Jika menerima salah satu tawaran politik yang ada, sejarah yang saat ini kita baca mungkin akan berbeda.

Konteksnya semakin menarik apabila kita melakukan elaborasi dengan buku Kepala BIN 2001-2004, A.M. Hendropriyono yang berjudul Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. Dalam bukunya, Hendro menganalogikan BIN seperti gergaji. “Jika kita gagal menggergaji kayu, tidak benar jika kita membanting atau memaki-maki alat gergajinya,” tulisnya.

Tegas Hendro, intelijen merupakan alat negara yang bertugas untuk mengumpulkan dan memberikan informasi. Nah, dipandang berguna atau tidaknya informasi tersebut, bergantung atas sang klien tunggal, yakni presiden.

Artinya, seperti pernyataan As’ad, BIN telah memberikan informasi indikasi operasi penjatuhan kepada Gus Dur, namun sang presiden tidak merespons serius pada awalnya. Mengutip Machiavelli, itu menunjukkan Gus Dur tidak memiliki penciuman politik yang baik. Gus Dur telah gagal dalam mendeteksi bahaya politik yang mengancam kekuasaannya.

Well, apapun yang terjadi di balik jatuhnya Gus Dur, dan siapapun tujuh orang yang dimaksud As’ad, yang jelas kejatuhan Gus Dur memiliki dimensi yang begitu kompleks. Terlebih lagi, Gus Dur memang mengeluarkan berbagai kebijakan kontroversial, seperti membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan, hingga ketegangan dengan berbagai elite. (R53). copyright : pinterpolitik

Senin, 23 Agustus 2021

Pemerintahan Jokowi Di Ambang Negara Represif?


 “Art is a criticism of society and life, and I believe that if life became perfect, art would be meaningless and cease to exist.” — Naguib Mahfouz, penulis asal Mesir

Beberapa hari ini diskursus publik diramaikan oleh kasus mural. Ya, mural. Diketahui, mural berisi kritik sosial di berbagai tempat dihapus oleh pihak berwajib. Yang paling menarik, mural berbentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tulisan “404: Not Found” di Tangerang, tidak hanya dihapus, tapi pembuatnya juga tengah dicari.

Seperti yang mudah ditebak, persoalan ini melahirkan berbagai reaksi, yang umumnya mempertanyakan apa urgensi pencarian sang pembuat mural. Persoalannya menjadi lebih kompleks karena alasan pihak berwajib mencari pembuat mural dinilai tidak tepat. Disebutkan, ada dugaan penghinaan terhadap Presiden sebagai lambang atau simbol negara.

Masalahnya, mengacu pada UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2009, yang tercantum sebagai simbol negara adalah bendera merah putih, bahasa Indonesia, Burung Garuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, serta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Uniknya, kesalahan serupa juga dilakukan oleh Rektorat Universitas Indonesia (UI) ketika memanggil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI terkait unggahan “Jokowi The King of Lip Service”.

Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, pasal KUHP terkait penghinaan terhadap Presiden sebagai delik biasa sudah dicabut oleh MK. Oleh karenanya, pihak berwajib seharusnya baru bisa bertindak apabila terdapat aduan, bukannya berinisiatif mengejar pelaku.

Persoalan ini menjadi perhatian sendiri, khususnya dari pengamat hukum. Mengapa pihak berwajib bertindak tidak berdasarkan mekanisme hukum yang tepat? Lebih jauh lagi, apakah ini menunjukkan indikasi penerapan hukum represif?

Bayang-bayang Hukum Represif

Di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19, banyak dari kita tentu melihat gestur pemerintah mulai bertendensi represif. Mulai dari pemberian sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan (prokes), hingga diturunkannya ribuan aparat dalam penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Namun, seperti yang dicatat Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Hukum Responsif, mekanisme represif seperti itu tidak dapat begitu saja disebut memiliki tujuan jahat untuk merepresi masyarakat.

Ketika pemegang kekuasaan berada dalam situasi sulit, mereka cenderung akan berpaling ke mekanisme-mekanisme represif karena mungkin tidak melihat jalan lain untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Konteks ini misalnya dapat kita lihat pada kebijakan vaksinasi Covid-19. Terlepas dari kritik berbagai pihak bahwa ada unsur “paksaan”, mekanisme represif tersebut sekiranya diperlukan untuk mengejar target vaksinasi.

Yang menjadi masalah adalah, seperti yang ditegaskan Nonet dan Selznick, keadaan darurat seperti saat ini sangat rentan dimanfaatkan kekuasaan untuk menjadi represif. Ini bukan mekanisme represif untuk mengejar kebaikan yang lebih besar (common good), melainkan karena kekuasaan tidak mampu menjaga kesetiaan publik dan memenuhi tuntutan masyarakat.

Secara khusus, kondisi tersebut disebut sebagai the poverty of power atau “miskinnya kekuasaan”. Situasi ini ditandai dengan menurunnya kepercayaan masyarakat, serta adanya gejolak internal dalam tubuh kekuasaan itu sendiri.

Terkait kepercayaan masyarakat, berbagai lembaga survei menunjukkan adanya penurunan. Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, pada Juli kemarin menyebut kepercayaan terhadap Presiden turun dari 56,5 persen menjadi 43 persen.

Lalu soal gejolak internal, persoalan ini sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Di Mana Jokowi? dan Jokowi Mulai Ditinggalkan?. Tampaknya tengah ada gelagat benteng-benteng Presiden Jokowi mulai mencari proyeksi tunggangan baru karena kapal sebentar lagi akan berlabuh.

Kembali pada poin Nonet dan Selznick, represi akan terjadi karena kekuasaan tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat. Nah, apabila diamati, bukankah mural yang dihapus berisikan kritik atas situasi pandemi?

Di Pasuruan ada mural bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”. Sementara di Tangerang ada mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” dan “Jokowi 404: Not Found”. Suka atau tidak, mural-mural tersebut menjelaskan kondisi ekonomi saat ini. Kebijakan PPKM Darurat memberikan hantaman bagi kelompok menengah ke bawah, khususnya mereka yang mengandalkan pendapatan harian.

Berbagai pihak pun mempertanyakan mengapa UU Kekarantinaan Kesehatan tidak digunakan. Tidak heran kemudian terdapat dugaan, UU tersebut tidak digunakan agar negara tidak memiliki kewajiban untuk “memberikan makan”.

Ya, mungkin saja dugaan itu salah, tapi bukan itu poinnya. Poinnya adalah, tengah terjadi distrust terhadap kekuasaan. Ini tentunya bertolak dari ketidakpuasaan terhadap penanganan pandemi.

Jika benar tengah terjadi poverty of power dan kekuasaan mulai menjadi represif, itu dapat menjadi jawaban mengapa pihak berwajib menggunakan aturan hukum yang tidak tepat dalam mencari pembuat mural “Jokowi".

Banalitas Kejahatan

Jika mengkaji lebih dalam, ada sesuatu yang lebih berbahaya daripada ancaman negara represif, yakni ketidaksadaran kekuasaan telah menjadi demikian. Poin ini yang ditekankan Rieke Diah Pitaloka dalam bukunya Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat.

Berbeda dengan berbagai pihak yang menyebut kekuasaan yang otoriter atau represif sadar atas perbuatannya, Rieke justru menyebutkan kebijakan diambil karena ketidaksadaran bahwa itu bertendensi demikian.

Simpulan tersebut ditarik karena Rieke menggunakan teori banalitas kejahatan (banality of evil) dari filsuf Jerman, Hannah Arendt.

Dalam bukunya, politisi PDIP ini mencontohkan kasus Adolf Eichmann. Petinggi militer Nazi yang bertanggung jawab atas peristiwa Holocaust ini justru tidak sadar dirinya telah melakukan kejahatan. Menurut Eichmann, apa yang dilakukannya tidak lebih dari sekadar memenuhi tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya.

Lebih getir lagi, menurut Rieke, mengapa kekerasan dan represi negara selalu terulang, karena adanya kelumrahan di tengah masyarakat dan pengambil kebijakan itu sendiri. Ini membuat kebijakan represif yang ada tidak ditanggapi secara kritis karena menilainya sebagai fenomena yang biasa atau lumrah.

Selain itu, Rieke juga menjelaskan sifat intrinsik hukum yang membuat penguasa mudah berlaku represif. Seperti yang diketahui, hukum memiliki sifat koersif dan memaksa. Ini membuat penguasa kerap memanfaatkan hukum semata-mata sebagai perangkat untuk mengatur masyarakat. Poin ini juga disinggung oleh Nonet dan Selznick.

Bertolak pada banality of evil, apakah mungkin pihak berwajib yang mencari pembuat mural tidak mempermasalahkan aturan hukum yang tidak tepat, karena merasa itu sebagai pemenuhan tanggung jawabnya dalam menjaga ketertiban?

Spekulasi yang lebih buruk, bagaimana jika terdapat pelumrahan? Bagaimana jika pihak berwajib melakukan tindakan tersebut karena merasa tindakan represif adalah sesuatu yang lumrah? Poin ini tentunya adalah ketakutan kita semua.

Mengutip teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat bekerja, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Pertanyaannya, bagaimana mungkin terjadi kepastian hukum, apabila terdapat budaya hukum yang melumrahkan tindakan yang bertolak dari aturan hukum yang tidak tepat?

Well, apa pun yang terjadi, entah itu tendensi represi atau bukan. Yang jelas, seperti kutipan pernyataan Naguib Mahfouz di awal tulisan, seni adalah kritik sosial. Mural-mural yang ada, alangkah baiknya dipahami sebagai vitamin kritik bagi kekuasaan. (R53) 

Sumber : Pinterpolitik

Logis Anies Dirikan Partai Sendiri?

   If you want a thing done well, do it yourself.” – Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis (1804-1814) Tahun itu adalah tahun 2014, ketika seb...