Ilustrasi about Privat vs Publik |
Tanpa
disadari aktivitas keseharian kita senantiasa bersinggungan dengan dua domain
utama: privat dan publik. Aktivitas privat melingkupi hal-hal yang berkaitan
dengan urusan pribadi yang kita upayakan secara mandiri. Mandi, tidur, buang air
dan gosok gigi, misalnya, adalah beberapa contoh sederhana yang memang harus
kita lakukan secara eksklusif dan tersembunyi. Sedangkan berkendaraan di jalan
raya, berwisata ke Monas di hari libur, atau berbelanja di pasar adalah
kegiatan yang hanya mungkin terlaksana di ruang publik dan menyertakan orang
lain.
Untuk kegiatan
privat, orang bisa berbuat “semaunya”. Dia bertanggung jawab penuh atas
konsekuensi yang menyertai tindakannya. Kalau orang tidak mau atau malas gosok
gigi, dia harus tanggung sendiri manakala gusinya bengkak dan nyut-nyutan. Untuk urusan
publik, orang harus menimbang kepentingan pihak lain ketika menjalankan suatu
aktivitas. Apakah ngebut di jalan raya tidak mengganggu dan membahayakan orang
lain? Atau, bolehkah membuang kantong plastik sembarangan seusai berwisata di
Monas? Pendek kata, tepa
selira atau tenggang rasa terhadap
orang lain menjadi pertimbangan utama ketika orang beraktivitas di ruang
publik. Masalahnya, seberapa banyak di antara kita yang menyadari dan memahami
bagaimana kita selayaknya bersikap manakala kita berada di wilayah publik?
Kecenderungan
yang umum terjadi adalah sebagian besar dari kita lebih mengutamakan
kepentingan privat ketimbang kepedulian kita terhadap kepentingan publik. Tak
perlu jauh-jauh kita mengamatinya. Cobalah tengok saluran air atau got di depan
rumah kita. Kita prihatin melihat got yang merupakan sarana publik demi
kepentingan bersama. Umumnya kondisi got di kawasan pemukiman begitu merana:
kotor, bau, dan mampet karena penuh sampah. Bila hujan, got yang mampat tak
dapat menampung air hujan sehingga luber dan menggenangi badan jalan.
Bandingkan keadaan ini dengan rumah kita yang adalah milik privat. Kita lebih
peduli meninggikan rumah kita atau membuat barikade penangkal air ketimbang
bergotong-royong memperbaiki dan melebarkan got agar air dapat mengalir lancar.
Jalanan boleh banjir asal bukan rumah kita. Padahal dengan mengutamakan
perbaikan got, masalah ini selesai dengan sangat sederhana. Tak perlu heran
kalau persoalan banjir di Jakarta tak kunjung selesai. Meskipun Banjir Kanal
Timur telah beroperasi maksimal, banjir tetap menjadi ancaman serius karena
ketidakpedulian warga Jakarta untuk memelihara fasilitas publik.
Mau contoh
lain? Lihatlah trotoar yang beralih fungsi menjadi lapak-lapak jualan atau
tempat mangkal pedagang kaki lima. Trotoar yang dibangun untuk kepentingan
publik beralih fungsi menjadi kepentingan privat. Tak jarang kaki lima semacam
ini melebar ke bahu jalan sehingga mempersempit jalan. Ruang publik yang
seharusnya menjadi fasilitas umum bagi pejalan kaki ini berubah menjadi lahan
pribadi. Akibatnya tidak hanya kesemerawutan dan ketidaktertiban, tetapi juga
kemacetan lalu lintas.
Ketidakpedulian
terhadap kepentingan publik ini tidak hanya dilakukan oleh warga negara tetapi
juga oleh negara dalam kadar yang lebih mengkhawatirkan. Keberpihakan
negara pada kepentingan privat sangat kentara seperti tercermin dalam
pengelolaan transportasi publik yang amburadul. Negara kurang serius
menyediakan transportasi publik yang cepat, aman dan nyaman. Kondisi bus kota,
kereta api, kapal feri, maupun moda transportasi masal lain yang tak terawat
merupakan bukti nyata ketidakberpihakan negara dalam urusan publik. Kendaraan
yang tak laik jalan, pelayanan yang buruk, aparatur yang hanya peduli dengan
izin trayek, atau jalan raya yang dibiarkan rusak adalah pengabaian negara
terhadap kepentingan publik. Akibatnya setiap orang berusaha keras memenuhi
kebutuhan publik yang seharusnya dikelola negara ini secara privat. Orang
kaya/mampu memenuhinya dengan membeli mobil dan menikmati kenyamanan privat ini
di tengah kepadatan jalan. Yang kurang mampu mengusahakannya dengan membeli
sepeda motor. Kegagalan negara mengelola kepentingan publik dalam bidang
transportasi ini berdampak luar biasa: polusi, kemacetan tak terkira,
inefisiensi, pemborosan bahan bakar, stres, kelelahan fisik (fatique), dan lain sebagainya.
Akibat yang
lebih parah dari ketidakpedulian negara dalam mengelola kepentingan publik ini
adalah kecemburuan sosial antarwarga negara dalam masyarakat. Orang kaya tentu
menginginkan kenyamanan dan keamanan dalam hidupnya. Adalah wajar kalau mereka
membangun pemukiman eksklusif yang dilengkapi dengan sarana-sarana privat yang
eksklusif pula. Dalam kawasan pemukiman elit semacam ini, sarana “umum” yang
dikelola secara privat ini luar biasa mewah dan nyaman: taman asri, jalanan
mulus, kolam renang, tempat kebugaran dan fasilitas olah raga yang memadai, dan
lain sebagainya. Bagaimana dengan masyarakat kebanyakan? Mayoritas warga negara
yang ekonominya pas-pasan hanya bisa gigit jari. Setiap hari mereka harus
saling berebut dengan sesama warga negara lain untuk “menikmati” sarana publik
yang minim dan disediakan secara asal-asalan oleh negara. Bila kondisi ini
dibiarkan berlarut, kecemburuan sosial karena salah kelola kepentingan publik
dapat memicu ketidakharmonisan dalam masyarakat. Tentu kita semua tidak
menginginkan hal ini terjadi.
Sumber: http://www.menulisesai.com/2013/02/privat-vs-publik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar