Apa yang Anda rasakan
bila berkesempatan untuk pulang kampung setelah tujuh tahun merantau tanpa
pernah memberi kabar kepada keluarga selama perantauan itu? Tentu Anda akan
merasakan kerinduan yang sangat terhadap orang-orang terkasih yang telah Anda
tinggalkan. Namun, di saat yang sama, Anda juga akan merasakan kebimbangan.
Akankah keluarga Anda menyambut kepulangan ini dengan hangat? Apakah segala hal
tetap sama seperti saat sebelum Anda pergi? Apakah semua anggota keluarga masih
hidup? Apakah kerabat dan sahabat masih ada dan tinggal di tempat yang sama?
Rangkaian pertanyaan
demikian juga berkecamuk di benak Tamin, tokoh protagonis dalam novel Pulang karya Toha Mochtar yang terbit
1957. Secara ringkas, novel ini berkisah tentang Tamin, mantan serdadu Heiho,
yang dikirim Jepang ke Burma untuk memerangi sekutu. Setelah Jepang takluk
kepada Sekutu, Tamin kembali ke Indonesia yang sudah merdeka tetapi bekerja
sebagai tentara bayaran Sekutu untuk memerangi para pejuang revolusi yang gigih
mengusir Sekutu dan Belanda dari Indonesia. Setelah peperangan selesai, Tamin
pun pulang kembali ke desanya yang digambarkan oleh Toha sebagai sebuah desa
kecil di kaki Gunung Wilis, sebuah tempat di daerah Jawa Timur. Kepulangan Tamin
didorong oleh kerinduannya yang memuncak untuk bertemu dengan kedua orangtuanya
yang telah renta dan adik perempuan yang disayanginya, Sumi.
Selain alasan
sentimentil ini, kembalinya Tamin ke kampung halaman juga didorong oleh
keinginannya untuk menjadi petani untuk mengelola sawah orangtuanya dan hidup secara
sederhana di desa yang damai dengan tenteram. Sejak kakinya kembali menapaki
tanah tumpah kelahirannya itu, Tamin telah membayangkan dirinya akan bergumul
dengan lumpur yang subur dan gembur yang akan menyibukkan hari-hari ke depan
dan memeras habis keringatnya. Muluskah impiannya untuk menjadi petani dan
hidup sederhana di desa kelahirannya ini?
Konflik novel diawali
dengan protagonis Tamin yang hidup dalam kebimbangan, keraguan, dan ketakutan.
Meskipun dorongan untuk kembali bertemu dengan keluarganya begitu kuat, Tamin bimbang
kalau-kalau rumah dan keluarganya sudah tidak seperti dulu saat dia
meninggalkan mereka. “… apa yang bisa terjadi selama tujuh tahun ini?” dan “Apa
gerangan yang bisa diberikan oleh waktu sepanjang itu kepada adinya, Sumi,
satu-satunya yang tercinta di bumi ini?” (hal. 7). Dua pertanyaan retoris ini
menjadi bukti kebimbangan Tamin saat hendak melangkahkan kaki ke halaman
rumahnya yang sama sekali tak berubah. Namun kebimbangan ini terkubur oleh rasa
kangen yang kuat. “Apakah yang dapat lebih menggelorakan hati daripada
mengalami pertemuan dengan keluarga kembali?” demikian pikir Tamin sebagaimana
dilukiskan dalam cerita (hal. 7).
Benar bahwa perjalanan
pulang kampung Tamin membawa kebahagiaan. Kerinduannya akan kedua orangtua dan
adiknya terobati. Keinginannya untuk kembali bergulat dengan sawah pun dapat
terrealisasi. Namun, pengalaman Tamin sebagai heiho dan prajurit bayaran
menjadi duri dalam daging yang akhirnya menggerogoti konflik batin Tamin.
Konflik batin ini
dipicu oleh obrolan Tamin dengan ibunya saat ia menanyakan kabar teman-teman
sebayanya. Dari cerita ibunya diketahui sahabatnya Pardan gugur dalam perang
Surabaya melawan Nica. Sedangkan Gamik, sahabat lain yang berpostur kerdil dan
kurang diperhitungkan kekuatan fisiknya, gugur dalam pencegatan melawan serdadu
Belanda di samping sawah desanya (hal. 23). Kisah kepahlawan dua pemuda
sahabatnya ini tentu saja menampar nurani Tamin. Sementara ia memerangi para
pejuang kemerdekaan dan mendapat keuntungan finansial untuk hal tersebut,
banyak pemuda sebayanya rela gugur demi kejayaan bangsa.
Kepada ibu dan anggota
keluarganya, Tamin dapat menyembunyikan gejokan batin ini. Setiap kali mereka
memintanya untuk menceritakan pengalaman selama perantauan tujuh tahunnya, ia
mengelak dan selalu mengatakan bahwa kisah perantauannya tidak ada yang
istimewa. Namun kepada orang-orang desa yang memaksanya berbagi cerita dan
pengalaman selama perantauan, ia tak kuasa menolak permintaan mereka. Peristiwa
ini terjadi di suatu perkumpulan para bapak-bapak di pendapa kelurahan saat
mereka bermusyawarah untuk memugar makam Gamik sebagai bentuk penghormatan
kepadanya yang telah gugur dan secara resmi menobatkan Gamik sebagai pahlawan (hal.
65-67).
Musyawarah desa itu
berujung bencana bagi Tamin. Sepengetahuan warga desa, perantauan Tamin adalah
untuk berjuang mengusir penjajah. Tersudut oleh anggapan yang telah tertanam di
benak mereka, Tamin terpaksa mengarang cerita. Kepada mereka, Tamin merekayasa cerita
bahwa ia tergabung dalam rombongan heiho terakhir yang tertahan di Tanjung
Priok dan batal berangkat ke Burma. Akhirnya bergabung ke Laskar Rakyat dan
bersumpah tak hendak pulang sebelum perjuangan berakhir. Dengan hati tersayat,
ia terpaksa berbohong bahwa ia bertempur sampai di Gunung Putri dan Gunung Cupu
di Tasik (hal. 69).
Cerita heroik ini
menghasilkan decak kagum kepada pendengarnya, namun membuat dada Tamin kosong.
Tamin sepenuhnya sadar bahwa dirinya telah mengenakan topeng kepalsuan.
Pengkhianatannya terhadap bangsa dan tanah airnya telah ditutupi dengan
rekayasa imajiner yang begitu sempurnya. Bualan Tamin ini terus menggelinding
di kalangan warga desa dan akhirnya berubah menjadi bola salju yang siap
menerjang. Setiap kali ada perkumpulan, warga desa ingin mendengar kehebatan
kisah Tamin. Dengan sangat terpaksa, Tamin pun harus mengulang cerita yang sama
sehingga hampir seluruh warga desa berpikir bahwa Tamin pun tak kalah hebat
dengan Gamik. Setiap kali pujian dan kekaguman disampaiakan, bukan kesenangan
yang Tamin dapatkan melainkan penyesalan dan pengkhianatan yang semakin
membebani jiwanya.
Klimak konflik terjadi
manakala keluarganya mendengar cerita kehebatan perjuangan Tamin dari warga
desa, bukan dari mulut Tamin sendiri. “Cerita itu indah sekali, Kang. Mengapa
engkau tidak menceritakan itu kepada kami dahulu?” tanya Sumi, adiknya (hal.
85). Mendengar pertanyaan ini, hati Tamin bak tertusuk samurai. Dia meminta
adiknya untuk tidak memaksanya menceritakan rekayasa bualannya. Tentu saja
adiknya tetap memaksanya untuk bercerita karena kisah itu dapat menjadi
kebanggaan keluarga. Karena tak kuasa menahan beban batin yang telah memuncak,
Tamin pun menampar adik yang dikasihinya ini dengan sekuat tenaga hingga
pingsan.
Setelah peristiwa
tersebut, Tamin merasakan kehampaan hidup yang luar biasa. Dia menganggap
dirinya sebagai penghianat yang tak layak mendapatkan pujian. Kepalsuan hidup
telah mewarnai dirinya hingga akhirnya ia pun meninggalkan desanya,
meninggalkan impiannya untuk menjadi petani dan hidup sederhana dengan tentram.
Ia merasa berdosa dan telah mengkhianati hati nuraninya. Meninggalkan desanya
merupkan cara terbaik untuk menghapus jejak pengkhianatan meskipun untuk hal
ini ia harus mengubur segala impian sederhananya.
Pulang adalah novel yang sangat sederhana dengan plot
yang sangat linear. Jalan cerita disusun secara kronologis dan disajikan dengan
narasi yang cukup memikat. Novel ini hanya memiliki 104 halaman, sebuah novel
yang sangat pendek untuk ukuran zaman sekarang. Kepulangan Tamin mencerminkan
refleksi perjalanan hidup keseluruhan Tamin. Kepulangan reflektif ini memberikan
pembelajaran yang menarik bagi pembaca, terutama terkait dengan kejujuran.
Benar adagium yang selama ini berlaku dalam masyarakat kita bahwa kebohongan
yang ditutup dengan kebohongan lain hanya akan membawa bencana.
sumber asli : http://www.menulisesai.com/2013/02/pulang-perjalanan-reflektif-seorang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar