Benua Afrika |
Baru setelah pertengahan abad lalu, bersamaan
dengan munculnya kesadaran akan identitas dan keinginan untuk terbebas dari
penjajah, Afrika mulai menggeliat. Benua Hitam ini laksana raksasa yang bangun
dari tidur selama ribuan tahun. Keadaan mulai berubah ketika beberapa kawasan
berhasil memerdekakan diri dari penjajah dan membentuk negara baru yang
berdaulat.
Ketika raksasa ini bangun dari mimpi
yang telah sekian lama membuainya, ia sedikit demi sedikit mengikis pandangan
negatif dunia luar yang meremehkan. Geliat pergerakan politik yang dipicu oleh
kesadaran akan nasionalisme dan identitas Afrika ini juga membawa angin segar
bagi berkembangnya kesusastraan Afrika. Melaui karya sastra, nilai-nilai
kehidupan, moralitas, pola pikir, dan tradisi Afrika yang unik mulai dikenal
dunia luar. Setidanya ada dua karya sastra yang menjadi penanda kebangkitan
Afrika, yaitu novel Things Fall Apart
karya Chinua Acebe dan kumpulan puisi Afrika
Yang Resah karya Okot p’Bitek.
Dengan latar sosial dan budaya Afrika
yang kental, kedua karya ini menggali konflik yang dialami oleh kaum pribumi
ketika mereka bersinggungan dengan budaya pendatang yang menjajah mereka, yaitu
budaya Barat. Dalam Things Fall Apart,
Acebe meneropong konflik peradaban yang dialami oleh tokoh protagonis Okonkwo,
seorang ksatria pada sebuah klan di Afrika yang teguh berjuang mempertahankan
tradisi dan nilai-nilai yang telah ribuan tahun dianut sukunya dari gempuran nilai-nilai
baru yang diperkenalkan oleh penjajah Eropa. Dalam pergulatan yang hampir
serupa, Afrika Yang Resah menyuarakan
keluhan dan keprihatinan seorang tokoh perempuan bernama Lawino terhadap
suaminya Ocol yang meninggalkan tradisi dan budaya Afrika dan menganut budaya
penjajah Eropa. Sang pengarang, p’Bitek, melalui metafora, ironi, dan satire
yang cerdas mengungkap berbagai keganjilan yang dilakukan Ocol yang hitam dalam
menerapkan tata cara kehidupan dan pola pikir orang putih di kalangan suku
Acoli.
Secara ringkas, Things Fall Apart menuturkan tokoh Okonkwo sebagai seorang pejantan
tangguh dari desa Umuofia dan memiliki pemikiran teguh akan hal-hal yang
bersifat lelaki. Sifat ini melekat pada diri Okonkwo karena ayahnya Unoka gagal
menjadi panutan dan arahan yang semestinya kepadanya. Ketidakberhasilan Unoka
dalam menjalankan hidupnya sebagai seorang lelaki membuat Okonkwo membenci
sikap dan cara berpikir ayahnya serta menciptakan pribadi Okonkwo yang keras.
Selain kegagalan Unoka dalam mendidik Okonkwo pada jalan yang benar mengenai
berbagai hal, nilai dan tradisi kesukuan yang mengakar kuat dalam dirinya juga
berperan penting dalam membentuk watak Okonkwo yang keras. Lingkungan persukuan
Afrika yang masih “primitif” memaksa Okonkwo untuk terlibat dalam peperangan
antarsuku. Hal ini menunjukkan kejantanan dirinya dan menegaskan
superioritasnya atas suku-suku lain di pedalaman
Afrika.
Kekerasan hati Okonkwo merepresentasikan
kerasnya kehidupan suku-suku di Afrika menjelang kedatangan para penjajah yang
menganggap mereka primitif dan terbelakang. Meskipun Okonkwo tidak menyukai
cara pandang ayahnya mengenai kehidupan, ia sangat menjunjung tinggi dan
memegang teguh tradisi Afrika. Ini dibuktikan saat dirinya harus rela diasingkan
(sebagai hukuman adat) akibat ketidaksengajaannya membunuh seorang anak
laki-laki pada upacara pernikahan temannya. Ia juga memelopori agar suku-suku
di Afrika tidak gampang terpengaruh atas kedatangan budaya asing (Eropa) dan agama
Kristen yang mulai masuk dan memengaruhi kaum muda klannya. Sifat dan watak
Okonkwo ini didasari oleh nalurinya sebagai pemimpin perang Umuofia serta didukung
hasratnya yang tinggi untuk memperjuangkan budaya dan tradisi Afrika beserta nilai-nilai
dan pola pikir yang melekat di dalamnya.
Dalam kadar yang kurang lebih serupa, tokoh
Lawino dalam puisi naratif Nyanyian
Lawino yang panjang di kumpulan puisi Afrika
Yang Resah mengejek suaminya Ocol yang telah keblinger karena terang-terangan menganut tata cara dan pola pikir
Barat di kalangan suku Acoli. Lawino
memrotes Ocol yang berperilaku seperti “kacang lupa pada kulitnya.” Melalui
puisi ini Lawino menunjukkan kemuakan dan ketidakmengertiannya mengapa suaminya
Ocol yang adalah anak kepala suku namun malah meremehkan dan menganggap Afrika
sebagai raksasa dungu, primitif, dan terbelakang. Melalui diksi yang unik dan
gaya bahasa yang segar dan penuh imajinasi, Lawino “menyanyikan” keprihatinannya
akan pengaruh Barat yang modern yang menggerogoti nilai-nilai luhur Afrika yang
tradisional.
Sebaliknya, di puisi Nyanyian Ocol pada kumpulan puisi yang
sama, Ocol menyuarakan keinginan dan mimpinya akan Afrika yang modern, bebas,
dan bermartabat. Menurutnya, Afrika menyimpan potensi besar yang belum digali
untuk menjadi maju. Ocol, yang mendapatkan pendidikan Barat, menggunakan pengetahuan
dan kepandaiannya untuk menghasut Afrika agar meninggalkan tradisi yang kuno,
kolot, dan tidak masuk akal. Ia menunjukkan bahwa dirinya adalah lelaki Afrika
modern dengan pola pikir yang berbeda dengan orang Afrika lainnya, terutama
istrinya sendiri Lawino. Selain menentang dan mencaci-maki budaya Afrika, sosok
Ocol juga tidak menyukai istri dan keluarganya. Kebencian Ocol ini disebabkan
oleh cara berpikir Lawino dan keluarganya yang masih terbelakang. Ocol
menganggap bahwa istrinya adalah orang Afrika yang tidak berguna bagi kaumnya
sendiri. Sikap Ocol yang arogan menggambarkan suasana paradoksal dalam Afrika Yang Resah.
Acebe dan p’Bitek berhasil menelanjangi konflik,
baik internal maupun eksternal, yang dialami oleh tokoh-tokoh yang mereka
ciptakan dalam Things Fall Apart dan Afrika Yang Resah. Potret buram
keterbelakangan dan kebodohan Afrika mereka sajikan dengan apa adanya tanpa pretensi
atau memohon belas kasihan kepada pembaca. Membaca kedua karya sastra ini, kita
seperti sedang bertamu ke sebuah keluarga asing dengan suguhan madu dan racun. Kita
tidak tahu yang mana madu dan yang mana racun. Haruskah kita mempertahankan
orisinalitas Afrika yang tradisional namun terbelakang? Atau, apakah kita perlu
memodernkan Afrika dengan mengorbankan tradisi dan nilai-nilai yang telah
ribuan tahun melekat di dalamnya? Dilema inilah yang sejatinya terungkap dalam Things Fall Apart dan Afrika Yang Resah.
Diambil dari situs : http://www.menulisesai.com/2013/11/memahami-afrika-melalui-sastra.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar